Ojol dan Simbol Solidaritas Jalanan

Ilustrasi AI: Helm Ojol

Oleh: Miftahul Arifin, Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD)

Peristiwa meninggalnya driver ojek online (Ojol) Affan Kurniawan yang dilindas rantis brimob meninggalkan luka mendalam masyarakat Indonesia khususnya para ojol. Bekas ban mobil baja yang membekas dalam tubuh ringkih berbalut jaket hijau itu menyulut gerakan perlawanan. Video yang beredar luas telah menarik simpati jutaan mata masyarakat Indoensia. Disebar, diputar berulang-ulang sehingga dengan cepat meninggalkan jejak lebih besar daripada tubuh aslinya.

Saat itu masyarakat tidak lagi melihat Affan sebagai individu, melainkan seluruh kelas pekerja informal yang selama ini menjadi penopang kota, kaum urban yang hidup di simpang ketidakpastian. Gambar itu bekerja sebagai hiperrealitas: luka satu tubuh disublimasi menjadi luka kolektif, kemudian dipelihara dalam jutaan repost, komentar, dan narasi.

Di video itu, rantis tidak hanya menabrak tubuh manusia, namun juga menabrak imaji masyarakat tentang negara. Negara yang seharusnya melindungi, justru hadir sebagai bulldoze yang bisa menghancurkan siapa saja. Simbol ini makin membesar di ruang-ruang digital: rantis tak lagi sekadar alat Brimob, melainkan simbol negara yang kejam dengan rakyat.

Tubuh ojol yang dilindas rantis bukan soal sekadar tubuh individu. Ia adalah panggung simbolik rakyat kecil yang harus meregang nyawa ditangan aparat bersenjata. Dalam kerangka simulakra, tragedi ini bukan lagi soal “insiden nyata”, melainkan produksi makna. Tubuh ojol menjadi tubuh kita: ia berteriak lebih lantang di dunia maya ketimbang di dunia nyata. Luka yang paling dalam bukan ditubuh, melainkan di kesadaran kolektif yang merasa dilindas bersama-sama.

Di balik itu semua, bangsa ini belajar satu hal: meninggalnya Affan bukan hanya soal darah yang menetes di jalan, tetapi juga gambar yang menetes di layar kaca, menyisakan luka yang tak bisa diobati. Peristiwa ini bukan tragedi jalanan biasa. Ia telah menjadi gambar dalam setiap layar ponsel kita. Dikirim berulang-ulang, dibicarakan dan diperdebatkan. Dari ruang digital, hingga merembet ke ruang fisik yakni warung kopi. 

Warung Kopi dan Simbol Perlawanan

Di negeri ini warung kopi bukan sekadar tempat bertukar cerita murahan, namun juga tempat analisis bertemu, tempat luka sosial menjadi bahan obrolan, tempat tawa bercampur dengan keluh kesah. Semua jadi satu menjadi obrolan menarik dan bersenyawa. 

Bila di jalanan ada benturan keras antara aparat dengan warga, maka di warung kopi ada benturan ide: pertarungan wacana. Di balik obrolan Santai, cicilan rumah, harga sembako, pajak mencekik rakyat, dan DPR Joget-joget, ada konsolidasi yang diam-diam lahir dan menyatu.

Warung kopi adalah universitas rakyat tanpa kurikulum, tempat simulakra tragedi dipelihara, lalu diarahkan menjadi kesadaran bersama. Dari warung kopi lahir bisikan: “Kita harus bergerak.” Dari sana pula tumbuh jaringan solidaritas yang tidak pernah tercatat di dokumen resmi, tetapi kuat menembus batas.

Di Indonesia sendiri, warung kopi mempunyai sejarah panjang dalam gerakan perlawanan, warung kopi menjadi pemantik tentang diskusi kritis, tempat perlawanan sekaligus merajut perkawanan. Sejarah Nusantara mencatat kalau Tunggul Ametung raja kediri harus takluk pada kekuatan Ken Arok Raja Singosari. Ken Arok berhasil menaklukan Tunggul Ametung lewat konsolidasi warung kopi sehingga berhasil menggalang kekuatan politiknya dan Menjadi titik centrum gerakan perlawanan politik untuk merebut kekuasaan. 

Demikian juga meletusnya peristiwa Malari 1974 tidak bisa dipisahkan dari gerakan dan konsolidasi warung kopi. Saat itu era orde baru, segala gerakan di bungkam, kebebasan berekspresi harus berhadapan dengan kawat dan jeruji besi dengan tuduhan tindakan subversif.

Pembungkaman ini membuat sekelompok aktivis mencari jalan keluar untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap razim. Sebut saja Hariman Siregar dan kawan – kawan berhasil melakukan konsolidasi dari warung kopi ke warung kopi dan sukses melakukan gerakan perlawanan terhadap penanaman modal asing.

Lebih jauh lagi sejarah mencacat, kalau di Prancis para kaum intelektual seperti voltaire, Montesquie, dan JJ Rousseau kerap nongkrong di caffe alexandre untuk bertukar ide dan gagasan. Filsuf D’Holbach sering juga hadir di warung kopi untuk memaparkan filsafatnya. Berangkat dari sini Prancis mulai tercerahkan dengan pengembangan ilmu pengetahuan di warung kopi. 

Bahkan seorang Antoni Francois Prevost mengatakan, warung kopi memiliki kebebasan untuk mendukung atau menentang pemerintah sehingga menjadi titik awal lahirnya kesetaraan, dan sejak saat itu ngopi menjadi budaya yang berdampingan dengan ilmu pengetahuan. 

Pahitnya kopi adalah simbol perlawanan akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, realitas dari gerakan dan adegan idealisme perlawanan terhadap tirani rezim yang telah menghisap darah rakyat. Warung kopi telah menjadi panggung dinamika kebangsaan meretas persamaan rasa, budaya dan estetika. Warung kopi menjadi pemantik dan saksi dari sebuah narasi gerakan perlawanan. 

Disini warung kopi menjadi ruang bagi rakyat untuk bertemu, tempat simulakra tragedi dirawat, dijaga, diartikan, lalu dilipatgandakan. Dari yang mulanya “kasihan ojol” berkembang ke “negara makin bengis dan arogan”, lalu berubah lagi menjadi “kita harus bergerak dan melawan”.

Selain tempat nongkrong, warung kopi juga sebagai media alternatif, laboratorium perlawanan: ruang di mana gosip bertemu analisis, tempat solidaritas lahir tanpa harus disusun dalam rumitnya proposal organisasi. Dari mitos ini lahirlah simulakra gerakan: gerakan yang tak selalu formal, tak selalu punya manifesto, namun mengalir lewat obrolan, jaringan pertemanan dan solidaritas spontan.

Warung kopi menyediakan medium dimana simbol tragedi tidak hanya dikonsumsi, tapi juga diolah menjadi energi. Solidaritas itu diam-diam sedang diramu bersamaan dengan adukan kopi, suara tawa, dan bisikan yang menyatukan luka menjadi gerakan.

Solidaritas Jalanan

Driver ojol hidup dalam realitas yang ringkih. Tidak ada kontrak pasti, tidak ada jaminan sosial, penghasilan bergantung pada algoritma yang tak pernah bisa ditebak. Namun dari kerentanan itu lahirlah sesuatu yang berharga: rasa saling menjaga satu sama lain. Bagi ojol, jalan bukan hanya tempat kerja, tetapi juga ruang hidup. Jalanan adalah kantor, pasar, sekaligus forum untuk merajut persaudaraan. 

Ketika seorang driver tergilas rantis brimob, ribuan orang merasa tergilas. Ketika satu tubuh luka, banyak hati tergerak. Dari situ lahir solidaritas jalanan, sebuah kekuatan cair dan spontan, menyatukan banyak orang dalam kesadaran yang sama. Publik melihatnya, ini sebagai drama simbolis: rakyat kecil dilindas negara.

Ketika ojol menjadi simbol solidaritas jalanan, Indonesia sedang diingatkan, bahwa mungkin inilah fondasi paling jujur dari gerakan rakyat. Sebuah fondasi yang sederhana, cair, tapi tak bisa digilas oleh roda baja siapa pun. Ketika ojol hadir di aksi massa, itu menandakan bukan hanya sekadar partisipasi. Tetapi politik jalanan dalam arti sesungguhnya. 

Ojol membawa legitimasi moral yang sarat makna. Mereka bukan elite partai, bukan pejabat, bukan akademisi, bukan pula aktivis kampus, tetapi wajah rakyat yang paling nyata di republik ini. Saat ini ojol bukan sekadar pengantar pesanan, tapi telah menjelma menjadi ikon perlawanan, simbol bahwa rakyat kecil yang paling rentan sekalipun bisa memantik kesadaran kolektif untuk menyuarakan keadilan dan kesetaraan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama