Malaikat Menentang Allah dalam Penciptaan Manusia: Apakah Berdosa?


Salah satu rukun iman dalam agama Islam adalah percaya kepada malaikat-malaikat Allah Swt. Kata "malaikat" sendiri merupakan bentuk plural atau jamak dari kata tunggal “malak” yang berarti utusan. Secara hakikat, malaikat adalah makhluk berjisim lembut yang mampu berubah wujud ke dalam berbagai bentuk sebagaimana yang pernah disaksikan oleh para rasul.

Dalam diskursus ilmu teologi, dijelaskan bahwa Allah Swt telah memberikan sifat “ishmah” kepada para rasul, nabi, bahkan malaikat. Ishmah secara bahasa bermakna penjagaan. Sedangkan secara istilah “ishmah” merupakan penjagaan Allah Swt kepada seorang mukalaf dari dosa besertaan ketidakmungkinan terjadinya perbuatan dosa tersebut.

Akan tetapi, sifat “ishmah” tersebut seakan-akan hilang saat para malaikat memberanikan diri protes terhadap keputusan Allah Swt yang menjadikan Nabi Adam as sebagai khalifah di muka bumi. Kisah tersebut terabadikan dalam firman Allah Swt:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S al-Baqarah [2]: 30)

Asbabun Nuzul Ayat

Menurut riwayat, ayat ini bercerita tentang kehendak Allah Swt menciptakan Nabi Adam as. sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka menjalankan hukum-hukum Allah Swt di dalamnya. Namun kehendak tersebut dijawab oleh para malaikat, seolah-olah mereka tidak menyetujui dengan ungkapan; “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?”.

Sebab sebelum menciptakan Nabi Adam as, Allah Swt terlebih dahulu menciptakan para jin di muka bumi. Akan tetapi, justru anugerah itu mereka khianati dengan berbuat kerusakan di dalamnya. Akhirnya, Allah Swt mengutus para malaikat untuk mengasingkan mereka ke pulau-pulau dan gunung-gunung.

Pendapat Para Mufassir

Dalam memahami jawaban malaikat di atas, Sulaiman bin Umar al-‘Ujaili (w. 1204 H) berpendapat bahwa jawaban tersebut disampaikan dalam rangka mencari kejelasan atas pemahaman yang samar bagi mereka berupa hikmah penciptaan manusia di muka bumi. Bukan berarti bentuk penentangan atas keputusan Allah Swt dan menggunjing (ghibah) keturunan Nabi Adam as.

Sedangkan Ahmad bin Muhammad as-Showi (w. 1241 H) mengatakan bahwa jawaban tersebut bukanlah ungkapan protes kepada Allah Swt dan menghina Nabi Adam as. Melainkan dalam rangka meminta jawaban yang dapat menenangkan kekhawatiran mereka atas kehendak Allah Swt tersebut.

Hikmah dibalik Dialog Antara Allah Swt dengan Malaikat

Terdapat beberapa hikmah yang bisa dipetik dibalik kisah dialog yang terjadi antara Allah Swt dan malaikat perihal penciptaan manusia di muka bumi. Pertama, musyawarah tuhan dengan makhluknya. Kedua, menunjukkkan ketidakmampuan malaikat mengetahui hal-hal ghaib. Ketiga, menunjukkan keistimewaan Nabi Adam as kepada malaikat. Keempat, mengajarkan bermusyawarah dan mengagungkan Nabi Adam As.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jawaban malaikat atas kehendak Allah Swt menciptakan manusia di bumi dalam Quran Surah al-Baqarah ayat 30 tersebut bukanlah bentuk penentangan dan pencelaan semata. Akan tetapi, murni mencari kepahaman. Sebab, Allah Swt telah menjamin para malaikat, rasul dan nabi terhindar dari kesalahan yang berdampak dosa. Wallahu a’lam (*)


______________

*) M. Azfa Nashirul Hikam, Penulis adalah santri Ponpes. Lirboyo Kota Kediri dan alumni mahasiswa Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IAT) IAIN KEDIRI. Memiliki minat kajian Ulumul Qur’an-Tafsir dan Fiqih-Ushul fiqih. Penulis bisa dihubungi melalui instagramnya: @nashirulhikam

_______________

Referensi

  • Tafsir Futuhat Ilahiyyat, vol. 1, hlm. 73.
  • Tuhfatul Murid, hlm. 89.
  • Tafsir Jalalain, hlm. 6.
  • Futu>h}a>t Ilahiyya>t, vol. 1, hlm. 73-74.
  • Tafsir Showi, vol. 1, hlm. 29.
  • Tafsir Showi, vol. 1, hlm. 29.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama