Menkeu Baru, Ketika Lidah Tanpa Etika

 

Ilustrasi: Gemini AI

Oleh: Miftahul Arifin, Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD)

Ihwal pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut tuntutan “17+8” datang dari sebagian kecil rakyat. Menurutnya, tuntutan itu akan hilang secara otomatis, begitu dia berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi 6 hingga 7 persen. Pernyataan itu sontak menuai reaksi masyarakat luas. Karena ini bukan sekadar slip of the tongue, melainkan kegagalan etika yang menyingkap mentalitas elit yang terputus dari realitas rakyat.

Dalam hal ini Menkeu Purbaya mencerminkan wajah pejabat elitis yang nirempati terhadap rakyat, dia melihat rakyat hanya sebatas urusan perut lapar dan tenaga kerja. Bukan sebagai manusia yang punya harkat dan martabat. Padahal tuntutan itu adalah suara rakyat untuk Indonesia lebih baik karena bangsa ini bukannya hanya milik pejabat tapi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai ekonom, mungkin Menkeu Purbaya terbiasa dengan grafik, tabel, dan rumus. Namun sebagai Menteri Keuangan, ia wajib tahu dan mengerti bahwa di balik angka ada manusia, di balik protes ada harapan. Pada bagian ini Menkeu Purbaya gagal sejak hari pertama: dia nampak lupa bahwa komunikasi pejabat publik bukan hanya soal angka pertumbuhan, melainkan soal penghormatan terhadap kesadaran politik masyarakat.

Saat ini mungkin yang paling mendesak bukan hanya soal target pertumbuhan 6-8 persen, melainkan pertumbuhan empati dalam cara berkomunikasi. Sebab rakyat tak hanya ingin mendengar janji-janji, melainkan juga ingin didengarkan dan diperhatikan. Rakyat tak butuh janji dan retorita yang dibutuhkan adalah perhatian dan kerja nyata. 

Dalam kajian komunikasi politik, ucapan seorang pejabat adalah simbol kekuasaan. Ketika simbol itu bernada merendahkan bahkan menghina, maka legitimasi yang dibangun pun retak. Publik bisa memaafkan kesalahan kebijakan, namun sulit memaafkan penghinaan. Dan Purbaya, dihari pertama dengan satu kalimat saja telah menciptakan jarak yang lebar antara dirinya dengan rakyat.

Dari sudut pandang retorika Aristoteles, Menkeu Purbaya telah gagal dalam menyampaikan komunikasi yang efektif terhadap masyarakat karena tidak memenuhi tiga unsur: Ethos (kredibilitas), Pathos (emosi), dan Logos (logika). Dia memperlihatkan ketidaksimpatian terhadap nasib rakyat (Ethos), ucapannya memicu amarah bukan simpati (Pathos) dan mengaibaikan fakta bahwa tuntutan 17+ 8 didukung masyarakat luas (Logos). 

Alarm Bagi Pemerintahan Prabowo

Pernyataan Menkeu Purbaya yang menyepelekan aspirasi rakyat ibarat menyiram bensin di atas bara. Konferensi pers pertamanya, yang seharusnya menegaskan komitmen stabilisasi ekonomi dan menghadirkan rasa aman malah memicu kontroversi dan menimbulkan kegaduhan.

Gaya komunikasinya yang kasar, arogan, dan kerap menihilkan etika publik, menjadi “peringatan keras” bagi kabinet Prabowo-Gibran: bahwa komunikasi politik yang salah urus dapat berujung pada krisis legitimasi.

Penyataan niretika dan sikap arogan Menkeu Purbaya menciptakan Communication Noise yang merusak pesan utama pemerintah tentang stabilitas ekonomi. Ketidakpekaan terhadap aspirasi rakyat, seperti yang ditunjukkannya, mencerminkan masalah struktural dalam seleksi pejabat. 

Bilamana komunikasi pejabat publik terus dibiarkan tanpa kendali, maka pemerintah akan kehilangan Public Trust yang menjadi pondasi legitimasi politik. Tentu Presiden Prabowo tidak boleh tutup mata soal ini, karena sikap arogan dari menterinya dapat menjadi beban politik yang merusak citra kabinet di pemerintahan.

Seorang Menkeu yang gagal menjaga etika komunikasi berisiko melemahkan kredibilitas negara, memunculkan keraguan, bahkan memicu gejolak di pasar keuangan. Presiden Prabowo sendiri, yang dikenal dengan gaya kepemimpinan tegas, sangat perlu memastikan bahwa kabinetnya tidak hanya kompeten secara teknis, namun juga mampu berkomunikasi dengan empati dan etika.

Pentingnya Menata Komunikasi

Komunikasi pejabat adalah senjata, ia dapat menjadi simpul untuk mengikat kepercayaan rakyat, namun disisi lain juga bisa berubah menjadi pisau yang melukai. Kata-kata pejabat bukan sekadar omon-omon, tetapi simbol kekuasaan yang punya daya di hadapan publik. Sebab itu, menata komunikasi sejatinya bagian dari merawat negara.

Komunikasi yang efektif berfungsi sebagai perekat sosial yang menyatukan masyarakat yang majemuk. Pejabat negara memiliki tanggung jawab besar untuk tidak hanya menyampaikan kebijakan, melainkan juga membangun narasi yang positif dan konstruktif. Karena Negara yang sehat dan kuat adalah negara yang komunikasinya terkelola dengan baik, transparan, dan beretika.

Insiden Menkeu Purbaya adalah peringatan bahwa kata-kata bukan sekadar bunyi. Dalam sejarahnya negara demokratis hidup dari ruang kata: pidato, dialog, debat, dan musyawarah. Jika kata dibelokkan menjadi alat penghinaan dan cemoohan, maka demokrasi kehilangan ruhnya. Dan di era digital, satu kesalahan bicara dapat mengguncang pondasi kepercayaan rakyat. 

Menata komunikasi sejatinya mengakui bahwa rakyat bukan sekadar objek kebijakan, melainkan mitra strategis dalam bernegara. Karena itu setiap kata pejabat harus menegaskan komitmen pada keadilan dan kesetaraan. Komunikasi yang tertata dengan baik menciptakan masyarakat yang terinformasi, rasional, dan kohesif.

Pada akhirnya, setiap kata yang keluar dari seorang pejabat adalah janji moral, bukan sekadar bunyi yang lahir dari speaker kekuasaan. Sebab negara bisa saja selamat dari defisit anggaran, namun tidak akan pernah selamat dari defisit etika komunikasi. Menempatkan komunikasi sebagai prioritas strategis, itu tidak hanya bisa membangun kepercayaan, tetapi juga memastikan masa depan yang lebih stabil, adil dan Sejahtera bagi rakyat Indonesia.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama