Judul : Matinya Gender
Penulis : Ivan Illich
Penerbit Versi Indonesia: Pustaka Pelajar
Tahun Terbit : 2007 (terjemahan), asli: 1982
Tebal : ±248 halaman
Genre : Filsafat Sosial, Kajian Gender, Kritik Budaya
Pernahkah kamu mendengar istilah
gender, feminis, maskulin atau berbagai istilah lain yang merujuk pada persoalan laki-laki dan perempuan? Pernahkah kamu merasa bingung dengan berbagai
isu kesetaraan yang digaungkan di media dan koran? Ada yang merasa paling benar, yang satu dianggap ke Barat-Barat-an,
adalagi yang mengaku mengadopsi paham ke Timur-an. Lalu kita, Indonesia harus
ikut yang mana?
Jika kamu termasuk yang bingung. Kamu tidak sendiri, seorang filsuf bernama
Ivan Illich yang berkebangsaan Austria, juga memiliki kegelisahan yang sama. Ia
mencoba melihat fenomena sosial yang terjadi pasca revolusi industry, sudah
mengalami pergeseran jauh terhadap pemaknaan peran laki-laki dan perempuan atau
sering kita kenal dengan gender.
Pembicaraan tentang laki-laki dan perempuan agaknya memang tidak ada
habisnya untuk didiskusikan. Isu kesetaraan gender selalu hype, didukung
dengan algoritma media sosial yang juga semakin canggih. Akibatnya kita sering,
tanpa kita sadari, terbawa dengan standar orang lain yang lagi viral untuk kita
bandingkan dengan kehidupan kita. Pun masalah gender. Hingga ada pasangan yang
putus, cerai karena melihat pasangannya toxic, manipulating, tidak tau love
language atau istilah lain setelah ia bandingkan dengan standar postingan
akun yang FYP (For your page).
Kegelisahan semacam ini yang dirasakan oleh Ivan Illich sampai ia
mengarang buku yang berjudul Gender, dalam versi terjemahan Indonesia
yang berjudul “Matinya Gender”
Kata gender berarti peran sosial dan
simbolik serta setara antara laki-laki dan perempuan sehingga keduanya dapat
bertukar peran satu sama lain. Menurut Ivan Illich, gender adalah sesuatu yang lain
dan lebih dari sekadar jenis kelamin. Ia mengisyaratkan polaritas sosial yang sifatnya
fundamental dan tidak sama antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Barangkali kalau kita melihat pola pembagian peran kakek nenek kita
dulu. Apabila dalam pertanian, kakek mencangkul sawah. Nenek yang membawa
bekal. Masyarakat tau sosok yang menjujung sesuatu di atas kepalanya atau yang
menaruh sesuatu di atas punggungnya adalah isyarat gender tertentu. Apabila di
daerah lain berbeda, hal itu bukan masalah menurut Illich. Karena struktur yang
demikian tumbuh dalam satu daerah tertentu, tidak mesti sama dengan daerah lain.
Peran-peran sudah terbagi sesuai gender kedaerahan suatu tempat. Struktur masyarakat dan pola yang seperti itu
idealnya yang terus dipertahankan menurut Ivan Illich. Ia menganalogikan
seperti tangan (kanan-kiri), keduanya tau fungsi dan perannya. Konsep gender
kedaerahan ini terbukti dapat bertahan hingga bertahun-tahun. Illich
mencontohkan Puerto Rico.
Fakta hari ini, gender sudah terpetakan menjadi sistem yang hierarkis
dan eksploitatif. Kata gender dalam masyakarat tradisional dipahami sebagai
peran sosial dan simbolik yang terjadi secara alami dan setara antara laki-laki
dan perempuan. Namun hari ini, peran sosial antara keduanya semakin absurd
dengan adanya modernitas. Masyakat industri yang sudah semakin canggih dan juga
semakin tidak jelas menghancurkan keunikan ini melalui mekanisme ekonomi dan
industri.
Illich berkata (dalam versi terjemahan): “Gender Sosial saya artikan
sebagai dualitas yang pada umumnya bersifat local dan terikat waktu, yang
diberlakukan bagi laki-laki dan perempuan dengan keadaan serta kondisi-kondisi
yang mencegah mereka berkata, berbuat, berangan-angan, atau berpikir tentang
‘hal yang sama’.” (Hal. 13)
Demikian menurut Illich, gender hari ini melekat sekali dengan jenis
kelamin, padahal keduanya relatif berbeda. Gender sosial cenderung dibawa ke ranah
persoalan seksual. Alih-laih menghindari diskriminasi, Kapitalisme merancang
itu menjadi sebuah gagasan yang mengungkung laki-laki dan perempuan pada sebuah
jebakan standar ekonomi.
Namun sejak Revolusi Industri dan
kapitalisme berkembang, sistem ini berganti menjadi struktur berbasis “seks”
yang menciptakan hierarki, dominasi, dan eksploitasi terhadap perempuan yang dianggap kelas yang bisa dijadikan kambing
hitam.
Narasi dalam buku ini, meskipun telah terbit pertama kali sejak tahun
1982. Bahasannya masih relate dengan kondisi kita hari ini. Seruan-seruan
yang memicu konflik antara laki-laki dan perempuan, kubu feminis dan
anti-feminis, dan berbagai gaungan anti-anti yang lain hampir tidak dapat
dilihat akar sumbernya. Akan miris, jika kita terpetakan menjadi kubu-kubu yang
terbawa arus membenci laki-laki atau membenci perempuan hanya karena paham yang
belum jelas dasarnya.
Melalui bahasa yang cukup tajam dan berapi-api, kita bisa melihat
kegelisahan dan kritik radikal Ivan Illich terhadap fenomena sosial terutama
terkait gender. Meskipun kasus yang dia angkat adalah Amerika.
Meski begitu, buku ini dapat kita apresiasi sebagai upaya menghidupkan
kembali cara pandang gender non-modern sebagai narasi alternatif dalam
menghadapi struktur sosial patriarkal kapitalistik. Kita diajak untuk
merenungkan kembali, khawatir apa yang kita perjuangkan atau ketimpangan gender
justru dilanggengkan oleh modernitas dengan kepentingan tersembunyi. Di sisi
lain, pandangan Illich yang meromantisasi masa lalu barangkali tidak sesuai
dengan struktur sosial masyarakat kita.
Meski sedikit padat dan berat bagi pembaca pemula. Buku ini recommended
bagi pembaca yang menyukai kajian gender dan kiritik modernitas.