Siniar.co - Di era digital ini, tren konsumsi di kalangan perempuan Muslim semakin berkembang pesat. Munculnya berbagai produk fashion Islami, kosmetik halal, hingga gaya hidup berbasis syariah menjadi bagian dari identitas perempuan Muslim modern. Namun, di balik fenomena ini, muncul pertanyaan: apakah tren tersebut benar-benar mencerminkan gaya hidup Islami, atau justru terjebak dalam arus hedonisme yang berkedok religiusitas?
Konsumerisme dalam Balutan Religi
Islam mengajarkan kesederhanaan dalam hidup. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:
وَءَاتِ ذَا ٱلْقُرْبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلْمِسْكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا. إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra': 26-27)
Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit perempuan Muslim yang terjebak dalam budaya konsumtif atas nama syiar. Tren hijabers misalnya, awalnya dimaksudkan untuk memperkuat identitas Muslimah di ruang publik. Tetapi, dalam perkembangannya, fenomena ini berubah menjadi industri besar dengan kompetisi merek, model hijab terkini, dan standar kecantikan baru yang dikomodifikasi. Media sosial turut berperan dalam membentuk pola konsumsi ini, dengan influencer Muslimah yang menampilkan gaya hidup serba branded dalam keseharian mereka.
Gaya Hidup Islami vs. Hedonisme
Perbedaan mendasar antara gaya hidup Islami dan hedonisme terletak pada niat dan pola konsumsi. Gaya hidup Islami menekankan keseimbangan, kebermanfaatan, dan keberkahan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam urusan finansial. Sebagaimana dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
"Tidak akan bergeser kaki seorang hamba di hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya, bagaimana ia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan; dan tentang tubuhnya, untuk apa ia gunakan." (HR. Tirmidzi)
Sebaliknya, hedonisme lebih menitikberatkan pada kepuasan sesaat dan pemenuhan keinginan tanpa mempertimbangkan aspek moral atau sosial. Ketika perempuan Muslim lebih banyak menghabiskan waktu dan uang untuk memenuhi standar sosial dibandingkan dengan nilai-nilai spiritual, maka di sinilah batas antara gaya hidup Islami dan hedonisme mulai kabur.
Menjaga Keseimbangan
Lantas, bagaimana agar perempuan Muslim tidak terjebak dalam konsumerisme berlebihan? Islam memberikan prinsip yang jelas dalam hal ini: hidup sederhana, mengutamakan kebutuhan daripada keinginan, serta berbagi kepada sesama. Allah berfirman:
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, tetapi (adalah) di tengah-tengah antara yang demikian." (QS. Al-Furqan: 67)
Perempuan Muslim dapat tetap mengikuti tren tanpa harus kehilangan esensi ajaran Islam dengan menerapkan konsep belanja bijak, memilih produk yang benar-benar dibutuhkan, serta menghindari pemborosan.
Kesadaran akan jebakan konsumerisme ini menjadi langkah awal untuk kembali pada esensi gaya hidup Islami yang sesungguhnya. Sebab, pada akhirnya, Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada jumlah barang yang dimiliki, melainkan pada keberkahan dan manfaat yang bisa diberikan kepada sesama.
Salam Hangat!
A. Hendra Purnomo | Redaksi Siniar.co | SiniarTalk #4
Tonton Video SiniarTalk on Youtube: Siniar Official