Ilustrasi: news24xx.com |
Siniar.co - Belakangan ini, istilah "Sex Line" sebagai fenomena baru mencuat di sosial media. Tren ini menyebar begitu cepat di kalangan pengguna TikTok dan Instagram. Warganet mengunggah foto dan video dengan garis merah yang ditarik cari dari kepala mereka dijadikan simbol visual (garis merah) untuk menunjukkan jumlah pengalaman seksual.
Fenomena ini populer berkat drama Korea terbaru berjudul "S-Line" (2024), yang diadaptasi dari Webtoon populer karya Kkomabi. S Line mengangkat isu-isu berani tentang seksualitas, kekerasan, dan norma sosial yang sering dianggap tabu, sehingga memperkenalkan istilah “Sex Line” ke khalayak yang lebih luas, termasuk Indonesia.
Dalam drama tersebut, "S Line" digambarkan sebagai garis merah metaforis yang menunjukkan intensitas pengalaman seksual seseorang, banyaknya garis menunjukkan banyaknya pengalaman seksualnya, yang secara tak langsung menyoroti bagaimana seksualitas kerap menjadi hal yang diam-diam dipantau, dinilai, bahkan dieksploitasi. Fenomena viral ini, baik di dunia nyata maupun dalam fiksi, merefleksikan pergeseran norma sosial dan percepatan erosi moralitas, terutama dalam konteks nilai-nilai budaya dan agama di Indonesia yang selama ini menjunjung tinggi kesopanan dan kesusilaan.
Fondasi Moralitas dan Budaya Indonesia
Sejak dahulu, masyarakat Indonesia memegang teguh nilai-nilai kesopanan, kesusilaan, dan martabat, baik dalam pergaulan sosial maupun dalam menjaga norma seksualitas. Agama dan adat istiadat memegang peran sentral dalam membentuk perilaku yang dianggap pantas. Nilai ini mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan, batas pergaulan, hingga bagaimana seseorang menjaga diri agar tidak melanggar norma agama dan sosial.
Namun di era digital kali ini, batas tersebut semakin kabur. Akses internet tanpa batas dan minimnya literasi digital membuat generasi muda lebih permisif terhadap isu-isu seksualitas, terlebih setelah diperkenalkan dalam kemasan budaya populer seperti drama Korea S Line ini. Paparan seperti ini, ditambah dengan algoritma media sosial yang menormalisasi konten seksual, perlahan menggeser persepsi tentang apa yang pantas dan tidak.
Tren ini semakin viral dengan adanya filter S Line di TikTok. Mirisnya, hingga kini sudah 30,5 ribu pengguna yang telah menggunakan filter S Line tersebut. Di antara pengguna yang menggunakan filter tersebut, juga ada yang masih anak-anak. Tren ini menjadi warning merosotnya moral anak bangsa dengan mengikuti konten yang viral bahkan jika hal tersebut adalah bentuk mengumbar aib hingga menormalisasi seksualitas di luar pernikahan.
Beberapa pengguna, sebagaimana dilansir dari Tirto.id menganggap hal tersebut sebatas hiburan dan ekspresi diri, hingga bentuk lucu-lucuan. Padahal dampaknya akan merambah ke ranah yang lebih luas, yakni hilangnya privasi serta lunturnya batas antara ekpresi diri dan eksploitasi. Kondisi ini memicu normalisasi perilaku yang sebelumnya tabu, bahkan dianggap amoral. Akibatnya, masyarakat mulai terbiasa dengan fenomena-fenomena seperti Sex Line. Bahkan bisa membuka gerbang bagi konten negatif yang serupa lainnya.
Dampak Sosial dan Moral
Sex Line, baik dalam praktik maupun dalam wacana pop culture, menimbulkan dampak sosial yang nyata. Pertama, generasi digital yang lebih permisif semakin menormalisasi konten negatif sehingga akan cenderung terbawa arus ke arah perilaku negatif. Khususnya pengguna yang masih dibawah umur, mereka akan mengkonsumsi konten seksualitas tanpa pendampingan, sehingga dikhawatirkan berujung pada hal yang tidak diinginkan.
Kedua, fenomena ini dikhawatirkan menjadi pintu masuk bagi praktik prostitusi online, penyebaran konten pornografi ilegal, hingga kekerasan seksual.
Ketiga, dampak psikologis jangka panjang yang juga tak bisa diabaikan. Individu, khususnya remaja atau Gen Z, semakin mudah kehilangan kepercayaan diri, terjebak dalam standar tubuh semu, dan menganggap relasi berbasis seksualitas maya sebagai sesuatu yang wajar. Ini merusak fondasi hubungan interpersonal yang sehat, yang seharusnya dibangun di atas rasa hormat, kepercayaan, dan tanggung jawab.
Peran Institusi dalam Menjaga Moralitas
Penjagaan moral bukan hanya tugas individu, melainkan tanggung jawab kolektif. Keluarga sebagai benteng pertama harus memperkuat komunikasi, membangun kepercayaan, dan memberikan pemahaman tentang seksualitas sesuai usia. Pendidikan formal pun harus menanamkan literasi digital yang berbasis nilai moral, bukan hanya kecakapan teknis.
Tokoh agama dan masyarakat memegang peran penting dalam menyuarakan edukasi moral yang relevan dengan konteks zaman, dengan bahasa yang dekat dengan generasi muda, bukan sekadar menghakimi. Pemerintah harus hadir lebih kuat melalui regulasi platform digital dan penegakan hukum yang melindungi moralitas publik, bukan sekadar memblokir konten tanpa edukasi lanjutan.
Viralnya S Line bukan sekadar tren sesaat. Ini cermin dari ancaman serius terhadap moralitas bangsa. Fenomena digital yang permisif, ditambah lemahnya literasi etika, perlahan mengikis norma sopan santun, kesusilaan, dan kehormatan yang selama ini menjadi jati diri bangsa Indonesia.