Puisi Miya Adiwiyatha









Layangan putus

Hubungan kita kian  berantakan

Layaknya kertas usang yang sengaja di biarkan berserakan.

Jalinan kita kian putus

Layaknya layangan yang terlalu kuat di bawa arus.

Yang mungkin tidak akan pernah bisa ku temukan lagi,

Yang hanya mampu aku ingat dalam memori. 

 

Bahkan,

Banyak ungkapan cinta belum terucap,

Banyak rasa kasih yang menyalurkannya pun aku tak sempat.

Banyak juga asa yang harus pupus dan di buat hirap.

Bersama waktu.

bersama tidak ada laginya kamu.

Dan juga,

aku. 


Sekarang yang tersisa,

hanya sekelebat akara penuh harsa yang akan tetap ku biarkan amerta dalam jiwa,

Ku tanam baik dalam raga,

Dan ku tata rapi dalam sukma.


Pamekasan, 06 Februari 2025



Hamparan biru?


Riuh ombak seakan menjadi melodi yang membisikkan ketenangan bagi batinku.

Di tengah menikmati indahnya hamparan biru

yang tak memiliki batas berwujud itu. 


Ketika ku tatap sang baskara,

seolah² ada suara riuh melebihi sang melodi dalam daksa.

"Baskara langit, mungkinkah dia akan kembali ada?"

Namun sang baskara mungkin juga tidak mengetahui jawabannya. 


Benar,

Dia tidak menjawab.

Dia membisu.

Seakan tau betapa klandestianya garis takdir itu. 


Tidak putus asa,

sesuatu dalam diriku kembali bertanya

"Baskara langit, aku harus apa?"

Tetap tidak ada jawaban,

Yang datang,

Hanya  hujan


Pamekasan, 08 Februari 2025



Tidak Se 'Kita' Itu

Renjana tak tersambut,

Dan asmara yang enggan surut.

Perasaanku kalut,

Seakan di bawa hanyut,

Oleh arus ke tengah laut.


Kita,

Layaknya aksara tak bermakna

Layaknya Lirik tak bernada

Juga layaknya prosa tak bertema.

Suram! Sangat suram.

Mengapa demikian?


Karena relasi yang kita jalin,

Layaknya harapan yang tak pernah ingin.

Selalu saja setengah-setengah,

Layaknya perhatianmu yang semakin lengah.


Terkadang hal yang menurutmu sekecil debu,

Dapat menimbulkan denyutan hebat di nadi itu.


'Nadiku'.

Pamekasan, Februari 2025



Adagium Hukum dan Aksara Amertanya


"Equality before the law"

Semua orang sama di mata hukum,

Tapi kamu tidak sedikitpun sama

 dengan mereka atau lainnya.


"Hukuman harus di jatuhkan sesuai perbuatan."

Dan apakah aku harus di hukum akibat menaruh sebuah perasaan?.


Mungkin kamu tidak percaya dengan perasaan yang ada,

Namun Sikapku sudah cukup sebagai bukti tanpa aku harus mengatakannya.

Karena jika sudah ada fakta,

Apalah daya sebuah kata²?


"Bersumpah adalah kata lain dari menghadirkan tuhan sebagai saksi"

Dan jika itu mampu membuatmu percaya,

Maka aku,

akan menghadirkannya.


Karena dalam hukum,

"Fiat justitia ruat coelum"

Sekalipun langit akan runtuh,

Ataupun dunia akan musnah,

Selamanya,

kita harus tetap bersama.


Pamekasan, Februari 2025


________

Miya Adywiyatha, Penulis kelahiran Kota Gerbang Salam, Pamekasan. Saat ini sedang menempuh pendidikan di bangku Kelas XI Madrasah Aliyah (MA) di salah satu pondok pesantren di Madura. Ia suka mengutarakan melalui puisi, beberapa karyanya diawetkan di blog pribadinya: https://adywiyatha.blogspot.com/



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama